Pembuatan Minyak Kayu Putih di Indonesia
Masyarakat Indonesia sangat familiar dengan minyak kayu
putih. Minyak kayu putih menjadi andalan bagi siapapun yang membutuhkan
kehangatan maupun sekedar penghilang gatal ketika digigit serangga,
meredakan sakit perut, perut kembung, serta masuk angin. Selain itu,
minyak kayu putih juga sangat wangi. Selain terkenal sebagai pulau
tempat para tahanan politik dibuang oleh rezim Orde Baru, Pulau Buru
juga terkenal sebagai salah satu pulau penghasil minyak kayu putih
(cajuputi oil). Sebagian besar lahan yang ada di Pulau Buru ditumbuhi
oleh pohon kayu putih. Pohon kayu putih merupakan tumbuhan endemik yang
ada di Pulau Buru, dapat tumbuh secara alami. Minyak kayu putih yang
berasal dari Pulau Buru terkenal memiliki kualitas prima. Itulah yang
menjadikan Pulau Buru sebagai pulau penghasil minyak kayu putih.
Di
Pulau Buru, pohon kayu putih sangat mudah tumbuh. Pohon kayu putih
tumbuh seperti deretan ilalang yang muncul pada lahan-lahan yang tidak
tergarap. Walaupun pohon minyak kayu putih sangat mudah tumbuh di
seluruh daratan Pulau Buru, keberadaannya saat ini mulai terdesak oleh
pembangunan yang terjadi. Hamparan pohon kayu putih harus rela berganti
menjadi kawasan permukiman atau peruntukan lainnya, atas nama
pembangunan. Belum lagi ditambah dengan desakan dan godaan tambang emas
yang tengah marak di Pulau Buru. Para penyuling minyak kayu putih banyak
yang beralih profesi menjadi penambang emas. Turut mengadu peruntungan
di Bukit Botak, salah satu lokasi tambang yang menjadi incaran banyak
pendulang emas.
Wanginya
minyak kayu putih tergoda oleh silaunya kemilau emas. Semua karena
hasil yang diperoleh dari mendulang emas jauh lebih besar dibandingkan
dengan hasil penyulingan minyak kayu putih. Hamparan pohon kayu putih
yang daunnya mulai memerah karena musim kemarau.Sumber Foto: Dokumentasi
pribadi Musim kemarau belum usai dan hujan masih malu-malu menampakkan
diri. Ketika hadir di Pulau Buru, kita seolah disambut oleh hamparan
pohon kayu putih. Pohon kayu putih banyak yang mengering karena
terbakar. Seakan hamparan lahan yang tidak terurus dan tidak terjamah
dengan baik. Warna hitam pada batang pohon kayu putih dan merah pada
daun-daunnya sangat mendominasi. Namun, justru pemandangan tersebut
sangat eksotis. Seorang kawan yang lama tinggal di Pulau Buru seakan
mengerti dan langsung menjelaskan, “Tidak perlu khawatir, pohon-pohon
itu akan kembali subur. Lapisan kulit pohon yang hitam akan mengelupas,
berganti dengan yang baru. Daun-daun akan kembali menghijau”. Semakin
kagum akan negeri ini,
betapa
Tuhan begitu baiknya. Menganugrahkan negeri yang begitu kaya. Kaya
dengan beragam sumber daya alam. Sangat sayang jika para penghuninya
tidak memanfaatkan dan mengelolanya dengan baik. Masyarakat sekitar
Namlea, ibukota Kabupaten Buru, tidak perlu khawatir kekurangan gizi.
Laut telah menyediakan beragam ikan laut yang siap disantap sebagai
jamuan harian.
Tempat penyulingan minyak kayu putih di Pulau Buru, sangat sederhana
Daun kayu putih yang siap untuk diolah.
Menjaga agar tungku tetap menyala
Peralatan yang digunakan untuk penyulingan minyak kayu putih yang sangat sederhana
Penampungan akhir minyak kayu putih yang dihasilkan
Kebetulan berkesempatan untuk melihat lebih dekat tempat penyulingan minyak kayu putih. Tempatnya sungguh sangat sederhana. Hanya berupa gubuk dengan ukuran kira-kira 6 x 8 m. Proses penyulingan masih dilakukan secara tradisional. Pada bagian depan terdapat tempat penampungan untuk daun-daun dari pohon kayu putih yang siap untuk diolah. Dari daunnya saja, jika diremas, sudah menghasilkan aroma minyak kayu putih yang wangi semerbak. Memasuki rumah tempat penyulingan, terlihat tungku yang dinyalakan oleh kayu bakar. Sangat sederhana. Di atas tungku terdapat drum kayu besar tempat merebus daun kayu putih. Drum tersebut ditutup dan uap yang dihasilkan dari rebusan daun kayu putih dialirkan melalui saluran yang didesain khusus ke drum yang kedua. Drum yang berada di sampingnya ini berisi air yang berfungsi untuk mendinginkan uap yang dihasilkan. Uap yang dihasilkan dialirkan ke tempat penampungan kecil. Di sini air dan minyak kayu putih terlihat sudah terpisah. Ternyata prosesnya sangat sederhana dan menggunakan alat-alat yang sederhana pula. Minyak kayu putih yang dihasilkan.Sumber Foto: Dokumentasi pribadi Minyak kayu putih dituang ke dalam botol dan dijual dengan harga Rp. 150.000,00 per botol.Ketika ditanya, satu tempat penyulingan tradisional sehari dapat menghasilkan 3-5 botol minyak kayu putih. Satu botol dihargai Rp. 150.000,00. Biasanya, akan ada pengepul yang mendatangi para penyuling minyak kayu putih untuk selanjutnya dikemas dan dijual kembali. Dua botol minyak kayu putih telah berpindah tangan untuk oleh oleh. Dijamin asli, masih murni, dan tanpa campuran apapun. Langsung dari tempat penyulingannya. Bila berkesempatan untuk berkunjung ke Pulau Buru, tidak ada salahnya untuk mencoba mendapat minyak kayu putih langsung dari tempat penyulingannya. Para penyuling minyak kayu putih tengah beristirahat sejenak.Sumber Foto: Dokumentasi pribadi Sangat disayangkan, potensi alam yang sangat besar, seakan terkalahkan oleh nafsu untuk meraih hasil yang lebih instan. Pemanfaatan dan pengolahan minyak kayu putih semakin hari semakin tergusur dengan adanya penambangan liar yang marak hadir. Hampir sebagian besar penduduk di Pulau Buru mulai beralih mata pencaharian menjadi penambang emas. Bahkan potensi emas yang sangat besar ini turut mengundang pendatang yang secara khusus datang ke Pulau Buru untuk berburu kilau emas. Baca artikel lainnya tentang Berburu Emas Hingga ke Pulau Buru. Pulau Buru yang dahulu dikenal sebagai penghasil minyak kayu putih, bergeser menjadi penghasil emas. Sangat disayangkan. Padahal budidaya pohon kayu putih tidak kalah menarik. Juga turut meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selain menyerap banyak tenaga kerja, minyak kayu putih juga turut menyumbang pendapatan asli daerah (PAD).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar